I saw, I heard, I read, I felt than I write.... for Me, for My self 'n for d' other
Aku bukan oang yang suka peduli pada lingkungan sekitar, aplagi hal yang tak berkaitan langsung dengan diri ku. Yah, intinya aku careless. Aku bukan sedang membanggakan kelemahanku, but it’s me!! Tapi ini kayaknya karakter turunan, atau hasil bentukan dari orang tuaku yang juga tidak suka mengurusi masalah orang lain. Terkadang aku tidak perduli karena aku terlalu sibuk dengan duniaku hingga tak cukup waktu untuk mendengarkan cerita orang lain. Bukan,,kali ini aku bukan sok sibuk juga. Toh, aku bukan seperti orang dewasa yang sibuk dengan segunung pekerjaan mereka. Aku juga bukan seperti para calon profesor dan ilmuan yang sibuk dengan belajar dan mengurusi tugas kuliah yang kalo dipikirin tambah bikin pusing. Aku hanya sibuk dengan duniaku. Sibuk menyenangkan diri sendiri dengan berbagai kegiatan yang bisa membuatku berkata, “aku sedang bahagia”.
Namun, di sela waktu aku mendengar sebuah cerita tentang salah satu sepupuku. Aku coba untuk tidak perduli, toh masalahnya takkan pernah menjadi masalahku. Tapi tetap saja itu mengusikku. Kali ini, aku mengkhawatirkannya. Salah, mungkin lebih tepatnya, mengasihaninya. aku menulis ini buykan untuk sekedar curahan hati yang sebenarnya merupakan samapah, justru ini adalah sebuah gambaran tiga dimensi dari satu sisi kehidupan manusia, yang kalo dilihat dari sisi berbeda akan menghasilkan gambar yang berbeda pula.
Namanya.... –sebut saja Bunga-... bukan,,, ini bukan berita kriminal. Aku panggil dia dengan,,, Sani alias Via (masih kayak berita kriminal!). Vi adalah cewek berumur 16 tahun dengan wajah yang begitu cantik dan gaya yang terinspirasi oleh EMO. Dia pendiam, paling ga’, di depan kami dia begitu. Wajahnya yang –bisa dibilang- amat cantik tak mempengaruhi attitude-nya. Perangainya kasar. Mungkin orang lain ada saja yang menganggap dia begitu ramah, dengan senyumnya yang manis. Tapi dia bukan seperti itu.
Dia sepupuku, juga tetanggaku terdekat. Tapi hal itu bukan berarti aku sering bertemu dengannya, apalgi untuk ngobrol. Pertemuan kami yang hanya sesekali Cuma diisi dengan basa-basi ga’ penting. Dunia kami beda, makanya kami ga’ bisa ng-blend. Aku tipe orang yang males banget untuk memulai pembicaraan dengan orang yang ga’ terlalu akrab, dia juga begitu. Alhasil, kami ga pernah ngobrol. Apa itu yang namanya saudara? Bukan, dari silsilah dia memang sepupuku, tapi aku ga’ pernah merasa dia adalah saudaraku. Bukan karena aku ga’ mau menganggap dia beitu, hanya saja......kami seolah begitu jauh. Namun saat kudengar cerita tentangnya kali ini aku baru sadar, kalo di hatiku, masih ada setitik cinta pada dia yang harusnya kuanggap sebagai adikku.
Buakn kali ini saja dia bermasalah, sejak di SMP pun, sering sekali terdengar bahwa dia membuat masalah. Makanya, ga’ aneh kalo sekarang dia begitu.
Kudengar, dia kecdanduan dengan obat tidur yang ga’ Cuma dia makan setablet sehari. Melainkan beberapa buah sekali minum. Untuk apa? Ga’ ada yang bisa mengerti karena memang tidak pantas. Dia bilang, dia butuh obat itu untuk bisa tidur dengan tenang. Dia bukan penderita insomnia. Dia bilang obat itu hanya penenang pikirannya. Emangnya dia orang gila yang butuh penenang?! Bukan, dia bukan orang gila dalam arti sebenarnya, dia hanya gila karena dia memilih untuk menjadi gila.
Dramatis memeng. Bukan hanya kali ini kudengar banyak pecandu drugs dan juga alkoholic yang awalnya adalah ingin melarikan diri dari masalah-masalah berat yang mereka hadapi. Aku menganggap orang seperti itu adalah orang-orang bodoh, tapi kali ini ada lagi yang lebih bodoh dari mereka. Yaitu orang yang terobsesi untuk memiliki masalah yang besar. Entah mengapa ada orang yang cita-citanya adalah menjadi orang yang memiliki masalah yang sulit.
Vi memvonis dirinya sebagai korban brokenhome. Hahaha. Aku ingin tertawa. Dia punya orang tua yang lengkap. Ibu dan bapaknya sama sekali tidak berniat untuk bercerai. Kalaupun ada pertengkaran antara pasangan itu, masalahnya adalah hanya karena anak-anak mereka yang memiliki attitude yang jelek. Sedangakan mereka berdua sendiri sama sekali tidak punya masalah. Lalu bagaimana bisa keluarga seperti itu dibilang broken home? Dia bilang, dia benci pada bapaknya yang suka kasar, dan suka ‘jajan’ di belakang ibunya. Sedangkan ibunya sibuk mengurusi kakaknya yang sekarang berada diluar kota, dan ga’ perduli padanya. Ayahnya memang salah karena dia selingkuh, tapi itu urusan dia sendiri, toh, tetap saja orang tuanya ga’ bercerai dan dia juga ga punya ibu tiri. Tapi apa salah bila Ayahnya dengan kasar marah padanya karena kesalahan yang memang sengaja Vi lakuin? Apa tidak wajar seorang ayah marah bila anaknya membatah lantang saat sang anak itu sedang dimarahi demi kebaikan sang anak sendiri? Sang ayah mungkin memang salah, telah membentuk karakter sang anak hingga begitu, tapi sang anak juga jelas ga’ bisa dibenarkan saat dia membangkang pada ayahnya yang benar-benar ingin anaknya menjadi baik, paling tidak, se jahat-jahatnya seorang ayah, dia tetap ingin anaknya jadi orang yang baik dan ga’ seperti dirinya. Apa itu salah?
Vi iri pada kakaknya yang diperhatikan ibunya. Salah. Bagaimana dia bilang ibunya tidak perduli padanya sedangkan sang ibu rela jadi budaknya. Saat dia malas untuk makan, dengan sabar ibunya menyuapi dia seperti seorang pelayan. Saat dia butuh sesuatu, dia bisa menyuruh ibunya layaknya menyuruh seorang budak. Dan saat ia melakukan kesalahnnya, ibunya rela jadi tameng untuk melindungi anak perempuan tunggalnya, hanya supaya sang anak tidak dimarahi bapaknya yang dikatakan kasar itu. Apa itu ibu yang dia bilang tidak perduli padanya? Apa salah bila ibunya mengkhawatirkan anak pertamanya yang sedang jauh dari rumah? Lagi-lagi aku ingin tertawa. Kenapa sepupuku itu begitu inginnya jadi anak brokenhome di tengah keluarganya yang baik-baik saja?
Ibunya selalu ada dirumah, bila dia ingin bercerita, ibunya adalah pendengar yang baik. Ibunya juga ga’ pernah ragu untuk membantu dan melindungi anaknya dari apapun. Tapi kenapa dia menyia-nyiakan ibu yang seperti itu? Mamaku ada di rumah hanya di hari libur. Selebihnya dia di kantor. Pulang dari kerjanya, dia sudah cukup lelah untuk mendengarkan ceritaku. Dia juga terlalu enggan untuk mengurusi masalahku. Beliau hanya menyiapkan uang dan makanan untukku. Padahal sesekali aku ingin berbagi cerita dengan beliau. Tapi, jarang sekali beliau mau mendengarkanku. Yah, seperti yang kutulis di awal, orang tuaku juga bukan tipe yang perdulian. Tapi aku bangga pada mama. Aku tidak akan menuntut beliau berubah menjadi seperti yang aku mau, toh, itulah adanya. Aku juga mungkin belum cukup menjadi seorang anak yang dia inginkan.
Sepupuku yang lain bahkan lebih menyedihkan. Dia seolah dianggap sebagai anak tiri oleh ibunya. Dia juga anak perempuan, baru 12 tahun. Kata-katanya ga’ pernah didengar. Permintaannya hanya akan ditanggapi dengan bentakan dari sang ibu. Kemanjaannya hanya membuat orangtunya enggan untuk meladeninnya. Ibunya begitu sayang pada kakak dan adiknya, sedangkan dia.... ga’ pernah dianggap. Sikap ayahnya juga ga’ lebih baik. Dia selalu disepelekan, selalu diacuhkan, dan selalu dicela. Tapi apa itu membuat dia berfikir kalo dia korban brookenhome? Ga’, dia tetap jadi seorang anak yang ceria, penuh percaya diri, dan.....dia ga’ pernah berani untuk menentang orang tuanya. Dia ga’ merasa ada yang salah pada keluarganya. Aku salut. Lalu kenapa Vi begitu? kenapa dia begitu ga’ bisa melihat keindahan dalam rumahnya sendiri? So...poor.......
Ayhnya juga memiliki sifat penyayang. Ga’ pernah marah tanpa sebab. Demi anaknya, beliau rela ngeluarin uang berapapun. Apalgi saat sang anak menangis...wuih,,,, bapaknya bakal ngasih apa yang dia mau. Uang, pulsa, sampe Hp baru dengan model terbaru juga. Padahal,,,keluarga itu belum bisa dibilang bertaraf menengah keatas. Apa salahnya mendengarkan amarah orang tua tanpa harus membantah, padahal kita memang benar-benar salah?!
Papaku jarang marah, mungkin aku ga’ terlalu nakal untuk dimarahi. Tapi meski beliau jarang marah, paling ga’ aku tau hal-hal apa yang bisa memancing amarah beliu. Dan hal itulah yang aku jauhi. Tapi Vi beda. Dia tau apa yang bapaknya ga’ suka, dan itu yang dia lakukan. Sisi mana yang salah? Aku tau sisi baik dari ayahku, dan dari sisi itulah aku menembaknya saat aku menginginkan sesuatu, dan aku mendapatkannya. Tapi Vi juga beda. Terlihat jelas kelemahan ayahnya, dan sisi mana yang harus diraih saat ia ingin sesuatu. Tapi dia mengabaikan sisi itu. Dia malah memilih ‘menodong’ sang ayah dari pada ‘meminta’. Alhasih, Nothin’ selain amukan bapaknya. Siapa yang bodoh?
Dia bilang dia ingin berubah, asalkan bapaknya berubah dulu. Hahaha.... itu sama saja mengharapkan buah durian dengan menanam pohon nangka. Yaitu....bodoh. kalo pengen durian, ya, ganti tanamannya dengan pohon durian, bukan mengharapkan buah nangka berevolusi jadi buah durian. Ga akan terjadi!!! Kalo dia pengen berubah jadi baik, kenapa dia ga’ berubah sendiri? Toh, yang ngejalanin hidupnya Cuma dia sendiri bukan berbagi tubuh dengan ayahnya. Dia udah cukup besar untuk memilih jalannya sendiri.
Ilustrasinya seperti seorang anak berjalan di belakang ayahnya menuju sebuah jurang. Mereka berdua tau ada jurang di depan sana. Sang ayah memaksa anaknya untuk berbelok dan berhenti mengikutinya. Sedangkan ayahnya sendiri merasa tidak bisa berbelok dari jalannya. Sekarang, bukankah pilihan ada pada sang anak? Akan memilih jatuh jurang bersama sang ayah, atau berbelok demi keselamatan dirinya sendiri. Kalaupun dia memilih masuk jurang juga, apa itu kesalahan sang ayah? Bukan, itu kebodohan sang anak sendiri. Sekali lagi aku ingin tertawa, kenapa ada orang yang ingin mempersulit hidupnya sendiri?
-to be cont-
Label: cerpen